Fafruar
- Informasi sangat penting bagi masyarakat yakni tentang suatu peristiwa
penting. Siapakah yang menyampaikan informasi itu? Ya, tentu media massa. Di
media massa ada namanya jurnalisme atau wartawan yang mempunyai tugas dan tanggungjawab
untuk meliput berita dan menyampaikannya kepada masyarakat.
Tugas dan tanggungjawab ini tak mudah
bagi seorang jurnalisme atau wartawan. Bayak tantangan yang tentu dihadapinya.
Tantangan baik dari luar maupun dari dirinya sendiri. Hal ini terjadi saat
berada di lapangan.
Demikianlah kerja seorang jurnalisme
atau wartawan. Walaupun demikian masih banyak hal yang dapat dikritisi kinerja
jurnalime dalam menyampaian berita. Mengapa? Karena berita-berita yang
disampaikan kepada publik kadangkala tidak akurat bahkan berita-berita itu
mengecewahkan, membuat sakit hati dll.
Kiranya kita sudah tahu dan menyaksikan
tayangan berita-berita di televisi terutama berkaitan dengan peristiwa bencana
alam atau kecelakaan. Di sana pesan atau informasi yang disampaikan tidak
akurat. Seringkali pula gambar baik berupa foto atau video tentang korban tidak
dikaburkan (blur) tetapi menujukkan gambar yang asli. Seharusnya tidak boleh
sebab dalam kode etik jurnalis telah disampaikan hal-hal yang berkaitan dengan
peliputan dan membuat berita.
Selain itu pula ada unsur pemaksaan
dalam wawancara narasumber. Seorang wartawan sudah tahu keadaan narasumber
yaitu sedang dalam keadaan sedih, sakit. Tetapi demi berita yang cepat atau
supaya diakui oleh publik atau cepat dimuat serta diakui bahwa dia sebagai
orang hebat yang bisa mendapatkan berita dengan cepat.
Dari peliputan yang cepat bisa dikatakan
baik namun pada sisi lain kurang baik dari segi etika. Karena bila kita lihat
sebenarnya sudah termasuk dalam unsur pemaksaan, jika wawancarai orang yang sedang
sakit, mengalami kesedihan karena bencana alam. Hal ini bisa mengakibatkan keributan
bila keluarga korban atau korban tidak menerima diwawancarai dan bisa terjadi adanya
pemukulan terhadap wartawan.
Kita tidak mempemasalahkan siapa-siapa,
namun setidaknya semua pihak tahu tentang rambu-rambu yang sudah dan atau telah
ditentukan oleh pers sendiri maupun pihak-pihak yang lain serta publik.
Sehingga kerja peliputan dan pembuatan berita tidak menjadi suatu momok bagi
publik dan tidak terjadi tindak kekerasan terhadap jurnalis.
Ketika menganalisa tentang
tayangan berita di televisi, media cetak maupun media online dan lebih pada menjaga profesionalisme, teringat
akan apa yang dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku yang
berjudul Sembilan Elemen Jurnalistik,
yaitu “Apa yang seharusnya diketahui wartawan dan yang diharapkan publik?”.
Tentu saja yang diketahui wartawan adalah kode etik jurnalistik. Seperti
dikatakan dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, Pasal 7 Wartawan memiliki dan
menaati Kode Etik Jurnalistik. Lalu yang diharapkan publik? Dalam Pasal 17
dikatakan bahwa “Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan”.
Artinya bahwa kita ingin
mendapatkan informasi yang disampaikan oleh jurnalis atau wartawan dan dalam
menjalankan tugas dan tanggungjawab itu seorang jurnalis. Karenanya harus
mengatahui tentang pasal 7 ini. Sehingga berita yang disampaikan itu sungguh-sungguh
akurat dan tidak melanggar aturan yang ditentukan.
Seorang jurnalis harus memberitakan
fakta. Fakta itu mutlak punya hak untuk tidak mengurangi dan ditambahi, jangan
dibuat lebai hanya karena dramatisasi
peristiwa biar terlihat hebat. Sajian yang bermanfaat, bernilai bagi public.
Reporter harus belajar tentang pengetahuan atau istilah dalam peliputan seperti
bencana. Cek dan cek kembali sebelum berita diturunkan, apalagi yang menyangkut
nasib orang lain (Octo Lampito, 2015).
Jurnalisme tetap berdedikasi pada
keadilan semuanya. Dalam situasi semacam itu tetap diperlukan wartawan yang
bersosok. Bukan sekadar jurnalisme yang cepat mendapatkan informasi, tetapi
berpikir kritis, terampil, namun juga sensitif (John Calhoun Merril, 1974).
Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang
terjadi dan selalu kita lihat di televisi memang kinerja jurnalisme itu belum
seratus persen. Ya, kita boleh mengerti bahwa menjadi jurnalisme bukan mudah. Namun
tentu setiap dekade ada namanya efaluasi kerja. Sebab itu bagi saya sebagaimana
dikatan Octo Lampito, bahwa jangan berita itu menjadi dramatisasi peristiwa
biar terlihat hebat
tetapi sajian
itu harus bermanfaat dan bernilai bagi publik.
Dalam kode etik jurnalistik wartawan
Indonesia diingatkan 2 pasal yaitu pasal 1 berbunyi: Wartawan Indonesia
bersikap independen, menghasilkan berita akurat, berimbang, dan tidak bertindak
buruk. Dan pada pasal 4, bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,
sadis, dan cabul. Aturan ini jelas, bahwa berita harus berdasarkan fakta yang
akurat. Tidak boleh sama sekali dramatisasi, harus mengecek ulang agar tidak
salah informasi.
Media massa seharusnya sudah berpikir
cerdas. Bill Kovach dan Tom, menyarankan bahwa definisi berita untuk publik
harus berubah juga. Memilih dan memilih informasi, harus ada pola pemikiran.
Pers tahu benar untuk apa tulisan itu dibuat? Pers harus kritis bertanya
bagaimana publik memanfaatkan sajiannya. Apa nilainya? Bagaimana bisa membantu
mereka? Apalagi yang bisa dikerjakan selain itu.
Namun intinnya adalah berita itu harus
berdasarkan fakta yang akurat, tidak ada dramatisasi. Dan seorang wartawan atau
jurnalisme harus dijiwai oleh kode etik jurnalistik dalam dirinya. Sehingga
tanggungjawab dan tugasnya dijalankan dengan baik. Tidak membuat berita yang
merugikan publik dan negara.
Media massa, terutama para jurnalis
adalah bagian dari unsur yang berperan penting dalam informasi mengenai
bencana. Media massa bahkan berperan penting sebagai sistem informasi
peringatan dini. Karena itu, perlu untuk mengetahui segalanya yang berkaitan
dengan bencana, kejadian agar penyajiannya kepada masyarakat bisa seperti yang
diharapkan.
Melalui analisis ini saya mengambil
kesimpulan bahwa sebagai seorang jurnalis harus mengetahui tentang banyak hal.
Dan yang paling pokok dalam kehidupannya sebagai jurnalistis adalah kode etik
jurnalistik. Sebab jangan sampai bukan kebebasan tetapi kebablasan jurnalistik.
Harapannya semoga ke depannya selalu ada efaluasi yang mendalam dari pihak pers
dan atau pihak terkait terutama mengenai pemberitaan oleh media massa. (el)
Sumber:
Octo
Lampito, Jurnalisme Di Cincin Api,
Galang Pustaka Yogyakarta, 2015
Bill
Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalistik, 2003
Johm
Clhoun Merril, The Imperative of Freedom,
A Philosophy of Joernalistic Autonomy, 1974
UU
Pers No. 40 Tahun 1999
0 komentar:
Post a Comment