Cerita Pengalaman Rohani Dibalik Penjara

 

Bernadetta Ayus Lusiana, cerita tentang "kisah anak yang hilang". doc Lusiana.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Fafruar - “Sejak awal Februari 2021, saya mendapatkan tugas perutusan baru dari Kemenag, yakni mendampingi para narapidana yang beragama Kristiani di LP Wirobrajan. Meski baru 1 bulan, tapi banyak hal yang menyenangkan selama proses pendampingan rohani bersama mereka. Pembinaan rohani yang dilaksanakan  setiap Sabtu pagi, menjadi tempat untuk saling berbagi, sharing, dan saling menguatkan sebagai saudara seiman dalam Kristus”, Tutur Bernadetta Ayus Lusiana.

Menurut Lusiana, sebenarnya kegiatan ini tidak bisa disebut lagi sebagai pembinaan, tetapi sebagai ajang saling jumpa sebagai saudara dalam Kristus. “Kalau pembinaan, berarti saya terus memberikan semacam pembentukkan karakter, dan kepribadian secara rohani bagi mereka. Tetapi bukan seperti itu namun memberikan pengalaman atau pelajaran rohani bagi narapidana melalui sharing bersama tentang kerohaniaan supaya mereka menyadari bahwa kasih Tuhan itu senantiasa menyertai mereka, terutama dalam hal pertobatan dan berbuat baik. Tapi selain itu juga dari pengalaman ini, saya dapat memetik hal-hal positif dari cerita atau sharing kehidupan mereka (napi) dalam penjara yang dapat mendewasakan iman saya sebagai orang Kristiani”, kata Lusiana.

Bernadetta Ayus Lusiana, guru agama Katolik di SD Mutiara Persada Yogyakarta ini mengatakan bahwa yang berkesan dalam sharing pengalaman rohani bersama napi adalah ketika bersama-sama merenungkan tentang kisah anak yang hilang sebagaimana dilukiskan dalam Kitab Suci. Sebagaimana dikatakan bahwa tokoh utama yang diumpamakan dalam kisah anak yang hilang itu adalah “Bapa yang baik” dan “anak yang hilang” menjadi gambaran bagi kita semua tentang kasih Tuhan kepada kita.

Guru yang telah mengajar sejak tahun 2007 itu mencontohkan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sosial, bahwa dalam kehidupan kita, ada yang seperti si bungsu yang berbuat dosa, kemudian cepat menyadari, dan bertobat lalu kembali kepada bapaknya yang taat pada Allah, tapi menyimpan rasa iri hati kepada saudara-saudaranya (kepada semua orang).

“Saya, bersama tim kemudian sharing dan berbagi pengalaman dengan para napi. Saya memulainya dengan bercerita bahwa, saya seperti si sulung dalam kisah anak yang hilang itu. Mereka (napi) tampak kaget juga, ketika saya cerita, kalau si sulung lebih “parah” dosanya, karena iri hati yang tidak tampak dan bisa merusak persaudaraan atau semua orang”, kata Lusiana.

Lebih lanjut guru agama yang kini berusia 40 tahun itu mengatakan, dosa yang tidak tampak lebih mengerikan. Dosa yang meliputi kesombongan diri lebih berbahaya. Sombong merasa diri lebih baik, merasa diri bisa melayani, merasa diri palig benar dst.

Akhir dari cerita tentang kisah anak yang hilang dan dosa, Lusiana mengajak dan mendorong napi untuk kuat. “Semoga kita terhindar dari dosa kesombongan diri atau kita mencontohi si bungsu “anak yang hilang” ketika kita jatuh dalam dosa. Cepat-cepatlah bertobat dan kembali kepada Bapa kita, agar kita diselamatkan”, tuturnya.

Permenungan diakhiri dengan menyampaikan doa tobat. Dan mengingat bahwa sekarang adalah masa Prapaskah, maka Lusiana dan tim serta napi sangat antusias untuk berdoa tobat bersama-sama dan juga membangun sikap tobat di masa Prapaskah. Semoga kita mampu bertobat dalam iman dan kehidupan sehari-hari. Veni Sancte Spiritus. Amin. (Lusiana)

Share on Google Plus

About Fafruar