Ini adalah potret masyarakat sedang mengkat batu.doc Yosef Biweng |
Oleh: Yosef M.
P Biweng
Fafruar - Mungkin sebagian orang berpikir bahwa
kita hidup di negeri sendiri, akan hidup lebih baik karena akan menjadi tuan di
negeri sendiri. Tapi fakta berbicara lain.
Kalau melihat lebih detail, kita akan menemukan banyak persoalan hidup yang
dialami oleh masyarakat setempat, seperti
di Kabupaten Asmat.
Memang benar bahwa hiruk-pikuk di kota Agats sangat
beda jauh dengan hiruk pikuk di kota Jakarta.
Tapi ada satu hal yang perlu dilihat lebih teliti adalah bahwa susah payah
orang bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup di negerinya sendiri. Persoalan
hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sangat sulit dan berat.
Dalam Alkitab khususnya di kitab Kejadian sudah
berbicara soal kehidupan manusia bahwa kita akan mengalami susah payah dalam
menafkahi hidup. Kita akan kerja banting tulang, kerja keras seperti yang disabdakan
Tuhan. Kita akan bekerja bercucuran
keringat dan darah untuk bisa bertahan hidup.
Sabda ini terungkap ketika Tuhan mengusir manusia dari taman Firdaus, taman yang penuh kesejahteraan, kedamaian,
kemakmuran, sukacita.
Perkembangan Sosial
Situasi memaksa mereka kerja secara komunal. Kerja gotong royong, mulai dari orang tua
sampai anak kecil, laki-laki dan perempuan pun ikut bekerja. Hasil percakapan dengan masyarakat bahwa
mereka mengangkat dan memuat batu kerikil ke dalam karung, mereka dibayar dengan harga Rp. 3.000,-perkarung.
Apa tanggapan mereka ketika dibayar dengan harga begitu. Jawaban mereka, ya
kita mau bagaimana lagi, kita melawan
berarti kita tidak dibayar, dan ini juga
tempat kami bisa mendapat uang untuk biaya makan sehari-hari.
Gambaran
singkat ini mau mengatakan bahwa kita menjadi budak di negeri sendiri. Kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena kita tidak mempunyai pendidikan yang cukup, ketrampilan yang baik, pengetahuan yang tidak cukup, dan yang lebih memaksa adalah harus menjadi
seperti itu karena desakan ekonomi. Dengan
demikian mau tidak mau, harus
begitu, dengan cara menjual jasa yaitu
kerja fisik. Sampai kapan nasip kita seperti ini. Siapa lagi yang akan mengubah
nasib hidup kita dan masa depan anak-anak, kalau bukan kita yang merubahnya.
Siapa peduli
siapa? Seakan kepedulian itu berpihak kepada
mereka, tapi nyatanya tidak mereka alami.
Siapa bantu siapa? Seakan bantuan
memudahkan mereka, tapi nyatanya menyusahkan
mereka. Mereka tidak bisa bekerja
layaknya seorang pekerja. Siapa layani siapa?
Seakan pelayanan untuk membuat mereka hidup lebih baik, tapi nyatanya pelayanan hanya untuk
keuntungan semata. Siapa bangun siapa? Seakan
pembangunan berpihak kepada mereka, tapi
nyatanya tidak mereka nikmati, justru mereka menjadi penonton. Sangat ironis, bukan?
Ternyata hidup
di tengah hiruk-pikuk ibu kota Agats sangat susah baik berada di ibu kota
Jakarta. Kita melihat realita sosial seakan tidak ada persoalan yang sedang dan
sudah atau telah berlangsung tanpa kita sadari.
Mungkin sebagian orang melihat bahwa realita sosial yang terjadi di
tengah kota Agats adalah hal yang biasa-biasa saja, bahwa kita sebagai manusia
harus bekerja, tepat sekali. Akan tetapi
mari coba kita melihat lebih jauh, dan kita
bisa temukan di sana rupa-rupa persoalan yang harus diselesaikan, misalnya kepenuhan hidup sehari-hari.
Arus
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut mempengarahui kehidupan
sosial. Disinilah terjadilah seleksi
alam yang besar-besaran tanpa kita sadari. Realita hidup sosial menjadi
saksi. Dimana ada masyarakat yang peka
terhadap perubahan dan perkembangan sosial, sehingga mereka boleh dengan mudah
bisa beradaptasi. Namun ada masyarakat yang belum bias menyesuaikan diri dengan
arus perubahan itu, sehingga seakan perubahan
dan perkembangan itu tidak terjadi di depan mata mereka, tapi mereka sadari bahwa perkembangan itu
sedang terjadi.
Berdasarkan
situasi seperti itu maka muncul rupa-rupa masalah sosial di tengah kota Agats.
Kehidupan nampak sangat susah. Kehidupan
terasa sangat berat. Masyarakat menjadi
budak dan pesuruh di tanah sendiri. Dampak
dari tingkat pendidikan tidak memadai,
mau sekolah tidak ada dukungan dari orangtua, orangtua tidak memiliki cukup uang untuk
membiayai sekolah, belum mempunyai perencanaan
untuk masa depan anak. Rata-rata mereka
yang menjadi pekerja keras (buruh) adalah kehidupan ekonomi mereka berada
dibawah rata-rata, hanya untuk bisa memenuhi
kebutuhan hidup sehari saja.
Kota Agats
menjadi sentral pertemuan masyarakat dari berbagai latar belakang, suku,
bahasa, budaya dan adat istiadat yang
berbeda. Kehidupan di kota Agats sangat keras,
jika kita tidak mampu beradaptasi maka akan tereliminasi atau tersingkir
dari kota ini. Orang pendatang menjadi
tuan, orang asli menjadi budak, menjadi pesuruh yang setia. Faktanya demikian.
Pola Pikir
Hidup adalah
perjuangan, kalau tidak berjuang maka
tidak ada kehidupan. Menjadi budak di
negeri sendiri, mungkin istilah sangat
sesuai dengan realitas sosial yang terjadi di kota Agats. Masyarakat sebenarnya
tahu dan sangat tahu bahwa kalau hidup di kota Agats sangatlah susah. Kalau mau penuhi kehidupan sehari-hari harus
banting tulang alias kerja keras. Kalau
tidak kerja keras, siapa yang mau
perhatikan kita. Akan tetapi masyarakat masih saja tetap berjuang dari kampung
ke kota Agats untuk mengaduh nasib.
Ujung-ujungnya kehidupan mereka menjadi susah.
Untuk bisa
bertahan hidup di kota Agats, mereka
terpaksa menawarkan jasa mereka dengan bermodalkan fisik dan tenaga mereka.
Fisik dan tenaga dipertaruhkan untuk bisa bertahan hidup. Pola pikir mereka sederhana saja, mencari uang untuk hari ini, besok kita cari baru lagi. Mereka merasa bahwa
tidak akan pernah berkekurangan, tapi
nyatanya mereka berkekurangan. Kerja
kasar dengan bermodalkan fisik dan tenaga adalah bagian dari perjuangan hidup.
Mereka
mengunakan fisik dan tenaga mereka untuk bekerja. Pekerjaan yang selalu dilakukan oleh mereka adalah
angkat papan, pikul kayu umpak, dorong gerobak kayu, angkat beras,
babat rumput. Mereka bekerja untuk menafkahi hidup di dalam keluarga masing-masing.
Ironisnya, ada yang berdiri di depan
toko atau bank untuk meminta-minta uang, ada yang dari kantor ke kantor dengan rupa-rupa
alasan demi belaskasihan untuk diberikan sesuatu.
Dusun masih
luas, sagu, ikan, babi,
ulat sagu masih banyak, kenapa
harus ada model minta-minta di tengah kota Agats seperti di ibu kota Jakarta. Alam masih memberikan kemudahan, kenapa kita harus mencari kesulitan di tengah
kota Agats. Alasan yang sering dilontarkan bahwa hidup di kota lebih enak daripada
hidup di kampung. Uang menjadi alasan
untuk memilih hidup dan tinggal di kota.
Dampaknya adalah menjadi budak atau pekerja kasar. Berpikir akan menjadi
tuan di tanah sendiri, ternyata hanyalah
mimpi.
Kehidupan
yang serbah sulit bukan hanya soal enokomi (mencari uang) tetapi harga barang
serba mahal di kota Agats. Mau tidak mau
harus bekerja keras untuk bisa menafkai hidup keluarga. Kota Agats memberikan warna khas yang memikat
orang datang ke kota seakan memberikan harapan baru. Masyarakat berlomba-lomba datang ke kota
Agats, seakan-akan di kota bisa memperoleh
sesesuatu untuk merubah kehidupan mereka. Namun ternyata mereka terjebak dan terhimpit dengan masalah
ekonomi. Mereka mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Terpaksa fisik dan tenaga dikorbankan dengan bekerja mengangkat kayu umpak, papan,
dorong gerobak. (*)
0 komentar:
Post a Comment