Primus Ewrepit.doc.Yosef Biweng |
Fafruar - Tuntutan ekonomi memaksa orang
Asmat untuk keluar dari peradaban mereka. Hal ini membuat Primus Ewrepit memutar
otak untuk berpikir bagaimana dia bisa mendapatkan makanan dan bisa menafkahi keluarganya.
Primus
adalah seorang pengukir asal Kampung Per,
Distrik Agats, Kabupaten Asmat. Dia memiliki istri dan beberapa anak. Perjalanan
dari kampung Per menuju ibu kota Distrik Agats yang juga adalah ibu kota Kabupaten
Agats dengan jarak tempuh dua pulu sampai tiga pulu menit dengan mengunakan
perahu jonson atau speedboat. Kalau mengunakan perahu dayung jarak tempuh satu
sampai satu jam lima belas menit.
“Saya tinggal di jalan Bintang Laut
persis di pinggir sungai Asuwet. Saya hidup di kota Agats dengan bermodalkan
fisik untuk bekerja. Pekerjaan saya adalah mengungkir. Setiap hari saya
mengungkir. Saya mengukir dengan alat seadanya saja. Alat-alat yang saya
gunakan itu adalah kampak, gergaji, pesau, amplas, parang, kikir dan meter,
tutur Primus.
Dia bercerita “Saya biasa ukir untuk
memenuhi kebutuhan kami dalam rumah, saya punya rokok, beli garam, vetsin,
gula, kopi,dan lain-lain. Saya biasa ukir satu hari bisa enam sampai sepuluh
ukiran. Saya biasa pergi cari sisa-sisa kayu umpak atau balok untuk jadikan
bahan ukiran. Macam hari ini, saya biasa pergi pagi untuk cari kayu
potongan-potongan bekas bangunan baru, kayu umpak atau kayu balok. Setelah saya
dapat kayu itu, saya bawa pulang ke rumah. Saya langsung kerja. Kalau patung
yang ukuran pajang 60 cm sampai 25 cm itu tidak butuh waktu lama. Satu setengah
jam atau dua jam itu saya sudah bisa menghasilkan 5-9 patung. Kalau sudah
selesai mengukir, saya persiapkan diri untuk pergi menjual hasil kerja saya itu
kepada orang-orang yang sudah saya kenal. Saya langsung pergi saja ke situ
untuk menawarkan ukiran saya”.
“Harga ukiran yang saya tawarkan
juga bervariasi sesuai jenis dan bentuk ukuran. Ukiran yang berukuran kecil itu
saya biasa kasih dengan harga 50.000 ribu. Sendakan ukuran 60 cm, saya biasa kasih
harga 100.000-200.000 ribu," ucap Primus.
Selain itu dia bercerita bahawa pernah ada yang pesan patung besar dengan harga 1juta-500 ribu. "Kadang saya dibayar tidak langsung lunas pada waktu itu juga, bayar cicilan. Saya biasa datang tagih terus kalau belum lunas. Apalagi kalau ukiran menurut saya bagus, maka saya akan patok atau tetapkan harga langsung dan tidak ada tawar-menawar. Bahkan sampai kebutuhan mendesak saya bisa kasih harga perpatung dengan harga 20.000-30.000 ribu. Jadi saya biasa ukir dan menjual hasil ukiran saya itu hanya untuk memenuhi kebutuhan harian saya bersama keluarga," tutur Primus.
Selain itu dia bercerita bahawa pernah ada yang pesan patung besar dengan harga 1juta-500 ribu. "Kadang saya dibayar tidak langsung lunas pada waktu itu juga, bayar cicilan. Saya biasa datang tagih terus kalau belum lunas. Apalagi kalau ukiran menurut saya bagus, maka saya akan patok atau tetapkan harga langsung dan tidak ada tawar-menawar. Bahkan sampai kebutuhan mendesak saya bisa kasih harga perpatung dengan harga 20.000-30.000 ribu. Jadi saya biasa ukir dan menjual hasil ukiran saya itu hanya untuk memenuhi kebutuhan harian saya bersama keluarga," tutur Primus.
Raut muka bapak setengah paruh baya
itu terlihat serius saat mengerjakan patung ukirannya. Tampak senyum sesekali
dengan asap rorok mengumpal keluar dari mulutnya. Dia terlihat sangat sibuk, membolak-balik
patung yang sedang ia kerjakan dan sesekali menoleh ke saya. Dia terlihat
santai dengan gayanya sambil merapihkan ukirannya. Kerjanya spontanitas. Sketsa
untuk membentuk sebuah patung yang akan diukirnya sudah ada di dalam otaknya.
Sketsa patung yang ada dalam otaknya itu yang digambarkan dalam bentuk ukiran
patung, dan sangat unik. Dia mengukir seperti para pelukis professional tanpa
mengunakan sketsa.
Dari roman mukanya terlihat ceria
ketika hasil ukirannya terjual habis. Ada harapan baru untuk bisa melanjutkan
perjalanan hidup. Dia membawa patung hasil ukirannya berjalan keliling
menawarkan kepada orang-orang yang dia kenal. Dan salah satu langganannya
adalah Petrus.
Petrus sudah tidak asing lagi dengan
Primus yang biasa disapa kaka Primus ini. Kalau Primus datang membawa ukiran
kepada Petrus, tanpa segan-sengan meraka canda, senda gurau, saling tegur seperti
kakak beradik. Kalau Petrus mengambil ukiran Primus, wajahnya terlihat ceriah,
penuh dengan bahagia. Namun jika ukurannya tidak dibeli, terlihat kecewa, emosi
dan tidak pamitan langsung pergi.
Prinsip Primus adalah ukiran yang dia
buat hari ini adalah untuk menafkahi hidup keluarga dan kebutuhan pribadinya hari
ini juga. Kalau besok nanti dia masih bisa mencari kayu, buat patung dan jual
lagi. Baginya “saya harus dapat uang dari hasil ukiran saya, dan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga hari ini. Karena hasil hari ini untuk hari ini, besok nanti
saya cari lagi”.
Tepat sekali dengan pepatah kuno
bahwa hasil hari ini untuk hari ini, besok nanti cari lagi. Dalam Alkitab di
sana juga dicatat bahwa Yesus mengajarkan hal yang sama tentang doa Bapa Kami, ayat 11 (Mat 6:9-13) sangat
jelas dinyatakan bahwa “berilah kami pada hari ini makanan yang secukupnya”.
Pada konteks ini, Yesus tidak mengajarkan berilah kami makanan pada minggu ini, pada bulan ini dan pada tahun ini, tetapi pada hari ini dan secukupnya. Demikian juga dengan pengalaman Primus bahwa dia percaya Tuhan telah menyediahkan berkat pada hari ini untuk hari ini, besok pasti ada lagi.
Dengan alasan itu Primus tidak pernah merasakan kekurangan tetapi dia selalu merasa berkecukupan setiap harinya. Dan dia selalu bersyukur bisa menafkahi keluarga dengan hasil ukirannya.*( Yosef Biweng)
Pada konteks ini, Yesus tidak mengajarkan berilah kami makanan pada minggu ini, pada bulan ini dan pada tahun ini, tetapi pada hari ini dan secukupnya. Demikian juga dengan pengalaman Primus bahwa dia percaya Tuhan telah menyediahkan berkat pada hari ini untuk hari ini, besok pasti ada lagi.
Dengan alasan itu Primus tidak pernah merasakan kekurangan tetapi dia selalu merasa berkecukupan setiap harinya. Dan dia selalu bersyukur bisa menafkahi keluarga dengan hasil ukirannya.*( Yosef Biweng)
0 komentar:
Post a Comment