Memahami Sosial Kehidupan Orang Asmat


Dulu orang Asmat adalah manusia peramu yang biasanya mencari sagu dan ikan di dusun, kini mereka mencoba beradaptasi dengan peradaban baru yaitu mereka menokok sagu dan menjaring ikan. Hasilnya, mereka jual ke pasar dan uangnya digunakan beli beras, supermi, ikan kaleng, kopi, gula dan rokok.

Oleh: Petrus Pit Supardi


Asmat merupakan salah satu situs warisan dunia. Di tengah hamparan rawa dan sungai, hidup manusia Asmat yang memiliki kemampuan mengukir yang tidak tertandingi. Sebatang kayu bisa berubah wujud menjadi ukiran indah tanpa melalui sketsa terlebih dahulu. Bakat mengukir orang Asmat telah diwariskan turun-temurun oleh leluhur

Keindahan Asmat tidak diikuti dengan kesejahteraan penduduknya. Di seluruh pelosok tanah Asmat, orang Asmat hidup di gubuk-gubuk sederhana, tanpa memperoleh akses pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, perumahan dan listrik yang memadai. Hanya sebagian kecil orang Asmat yang bekerja di kantor Bupati dan tinggal di Agats memiliki hidup sejahtera.


Penulis bersama anak-anak Asmat di kampung Uwus, 9 September 2017


Pada bulan Desember 2017 silam, Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM bersama para petugas pastoral melakukan asistensi Natal ke stasi St. Patrus dan Paulus, kampung As-Atat. Kedua kampung tersebut berada di wilayah kuasi Paroki St. Gabriel, Kapi. Pada kesempatan tersebut, Uskup kaum papah ini menemukan puluhan anak menderita gizi buruk. Puluhan lainnya telah meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan medis.

Menanggapi temuan Uskup tentang penderita campak dan gizi buruk, pemerintah daerah Kabupaten Asmat membentuk tim penanggulangan untuk melakukan pencarian terhadap para korban campak dan gizi buruk. Hasilnya, ratusan anak ditemukan menderita campak dan gizi buruk.
Wabah campak dan gizi buruk di Asmat berubah status menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Presiden Jokowi turun tangan. Ia memerintahkan jajarannya segera melakukan penanganan terhadap anak-anak yang menderita campak dan gizi buruk.

Ide paling sulit dibayangkan adalah relokasi orang Asmat. Jokowi mengusulkan agar orang Asmat direlokasi. Padahal, sejak ribuan tahun silam, orang Asmat telah menempati daratan berlumpur di selatan Papua. Mereka hidup sebagai manusia peramu. Mereka mengambil makanan dari alam, sagu, ikan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Semua tersedia di alam Asmat yang kaya raya.

Orang Asmat, selain terkenal sebagai manusia peramu dan pengukir, mereka juga adalah manusia pengayau. Mereka pergi mencari kepala manusia sampai di daerah Mimika. Kebiasaan mengayau berhenti, tatkala pada tahun 1953, di depan Jew, kampung Syuru, Agats, mereka menerima misionaris Pastor Zegward, MSC. Sejak saat itu, orang Asmat menjadi Katolik. Mereka tidak lagi mengayau.

Sejak tahun 1953 sampai saat ini, Gereja Katolik Keuskupan Agats, sebagai pihak yang telah menjembatani perjumpaan orang Asmat dengan peradaban baru tetap memelihara warisan adat dan budaya orang Asmat. Wujud konkretnya adalah pelaksanaan Pesta Budaya Asmat dan pendirian Museum Kebudayaan Asmat yang digagas oleh Uskup Alfon Sowada, OSC.

Kehadiran Gereja Katolik di Asmat tidak pernah mengubah adat dan budaya yang relevan dengan nilai-nilai injili. Gereja Katolik berjuang melestarikannya. Pola hidup manusia Asmat sebagai manusia peramu tidak diubah menjadi manusia nelayan atau petani. Gereja tetap memberikan ruang kepada orang Asmat untuk bertumbuh dan berkembang dalam tradisi mereka.

Gempuran peradaban mulai menyerang orang Asmat secara masif pada saat Asmat menjadi kabupaten, berpisah dari Merauke. Sejak menjadi kabupaten definitif melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang pembentukan kabupaten Asmat dan tiga belas kabupaten lainnya, orang Asmat menghadapi banyak pilihan yang sebelumnya tidak mereka duga. Kesejatian manusia Asmat teruji di tengah perjumpaan mereka dengan kepelbagaian yang datang dari luar Asmat.

Pemerintah hadir dengan berbagai program yang menggelontorkan dana miliaran rupiah. Para pengusaha pencari gaharu mengeksploitasi alam Asmat. Kehadiran pengusaha gaharu yang langsung masuk ke dalam hutan Asmat disertai pula dengan para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang telah berdampak pada terjangkitnya HIV-AIDS di kalangan orang Asmat. Demikian halnya, pengusaha kayu telah membabat hutan milik orang Asmat. Kini, persediaan kayu besi di hutan Asmat semakin menipis.

Eksploitasi manusia Asmat terjadi terutama melalui makanan. Pemerintah telah mengirim beras untuk orang miskin (Raskin) ke Asmat. Para pedagang menjual beras, ikan kaleng, supermi dan berbagai makanan instan lainnya. Orang Asmat, manusia peramu yang biasa mencari sagu dan ikan di dusun mencoba beradaptasi dengan peradaban baru ini. Mereka menokok sagu dan menjaring ikan. Hasilnya, mereka jual ke pasar di Agats. Mereka memperoleh uang yang langsung dibelanjakan beras, supermi, ikan kaleng, kopi, gula dan rokok.

Tokoh intelektual Asmat, Bonifasius Jakfu menuturkan bahwa pada mulanya, orang Asmat makan sagu, ikan, sayur dan buah-buahan yang diambil langsung dari alam, tetapi kehadiran pemerintah dengan program Raskin dan dana yang besar telah mengubah gaya hidup orang Asmat. "Dulu orang Asmat makan sagu, tetapi sekarang mereka makan nasi, supermi dan ikan kaleng," tutur lelaki asal kampung Yeni, yang saat ini menjabat Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda, Kabupaten Asmat.

Perubahan pola makan menentukan segalanya. Kini, tidak banyak orang Asmat pergi ke dusun untuk menokok sagu dan menjaring ikan. Mereka berharap pada beras raskin yang telah mereka nikmati bertahun-tahun lamanya. Selain itu, mereka juga bersandar pada dana desa yang mencapai ratusan juta ke kampung-kampung di Asmat.

Perjumpaan orang Asmat dengan peradaban baru tidak disertai dengan proses pendidikan yang memadai. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kabupaten Asmat tahun 2016-2021 memperlihatkan bahwa angka buta aksara di Asmat mencapai 68%. Tingkat pendidikan yang rendah di kalangan orang Asmat berdampak luas pada segi kehidupan lainnya, terutama kesehatan dan pengelolaan ekonomi keluarga.

Pendidikan di Asmat memiliki kisah berliku. Pada awal kehadiran Gereja Katolik di Asmat, para misionaris dari tarekat Missionarii Sacratissimi Cordis Jesu (MSC) dan Putri Bunda Hati Kudus (PBHK) dari Belanda serta Ordo Sanctae Crucis (OSC) dari Amerika memperkenalkan pendidikan berkualitas kepada anak-anak Asmat. Kisah paling heroik, saat Ketua Sekolah Misi Katolik Asmat, Pastor Yan Smit, OSC ditembak mati oleh Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Asmat, pada tanggal 28 Januari 1965 di tepi sungai Asuwets, Agats. Peristiwa tragis itu terjadi lantaran Pastor Yan Smit berpegang pada prinsip bahwa anak-anak Asmat tetap bersekolah di sekolah Katolik yang dikelola misi, tidak beralih ke sekolah negeri yang mulai diperkenalkan pemerintah.

Biarawan Katolik lainnya, yang rela meregang nyawa demi pendidikan anak-anak Asmat adalah Sr. Cecilia Kelbulan, TMM. Ia meninggal di laut Arafura, diterjang gelombang saat membawa dokumen ujian sekolah bagi anak-anak Asmat di Bayun ke Agats pada 31 Januari 2017 silam. Kematiannya menambah deret biarawan Katolik yang meregang nyawa demi pendidikan anak-anak Asmat.

Kemartiran Pastor Yan Smit dan Sr. Cecilia Kelbulan, TMM seyogianya menjadi teladan bagi para pendidik di Asmat. Sayangnya, sampai saat ini dunia Pendidikan di Asmat memprihatinkan. Tidak banyak guru mau tinggal menetap dan mengajar anak-anak Asmat di kampung-kampung terpencil. Akibatnya, sudah 65 tahun orang Asmat berjumpa dengan peradaban baru melalui para misionaris Katolik, tetapi angka buta huruf masih tetap tinggi. Permasalahan pendidikan anak-anak Asmat belum terurai secara tuntas.

Permasalahan pendidikan tersebut erat kaitannya dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Apabila tingkat pendidikan orang Asmat memadai, maka pola hidup sehat jauh lebih terjamin. Dengan pendidikan yang memadai, orang Asmat mulai bertransformasi menuju suatu bentuk hidup yang mengedepankan unsur kesehatan jasmani. Pada saat sakit, mereka bisa langsung ke layanan kesehatan Puskesmas atau Rumah Sakit. Demikian halnya, dalam hidup sehari-hari mereka bisa mengonsumsi gizi seimbang sehingga terhindar dari gizi buruk. Mereka juga bisa mengembangkan penggunaan obat-obat tradisional secara benar. Kondisi demikian bisa tercapai kalau orang Asmat memiliki pendidikan memadai. Karena itu, berbicara tentang kesehatan orang Asmat, tidak pernah terlepas dari permasalahan pendidikan.

Di tengah keterbatasan pendidikan, orang Asmat sedang berjuang menyesuaikan diri dengan aneka produk instan yang ditawarkan oleh pemerintah, pedagang dan kaum pendatang. Dalam situasi ini, orang Asmat seperti sedang berada di persimpangan jalan. Ke manakah mereka akan melangkah?
Perjumpaan dengan peradaban baru, terutama kaum pendatang, pemerintah dengan program Raskin dan dana desa berdampak pada terkikisnya nilai-nilai hakiki adat dan budaya orang Asmat. Unsur pemberian diri orang Asmat terhadap sesamanya sedang memudar. Setiap pekerjaan menuntut upah. Bahkan untuk perbaikan jalan kampung harus menunggu dana desa cair. Unsur kebersamaan dan gotong royong sedang merosot di kalangan orang Asmat.

Peristiwa KLB campak dan gizi buruk yang sedang melanda Asmat saat ini, bukan permasalahan sederhana. Sebab, KLB campak dan gizi buruk di Asmat mengindikasikan adanya keterpecahan di dalam dunia orang Asmat. Sebuah proses pencarian jati diri orang Asmat yang sedang kehilangan arah karena gempuran dari dunia luar yang masuk ke Asmat. Karena itu, cara memahami dan menangani KLB Asmat mesti melibatkan semua unsur yang beririsan dengan kehidupan orang Asmat.

Pendekatan budaya merupakan alternatif terbaik dalam penanganan KLB campak dan gizi buruk di Asmat. Sebab, orang Asmat memiliki konsep tentang sakit dan sehat. Mereka memiliki leluhur, moyang dan alam yang merupakan satu kesatuan dengan seluruh hidup mereka. Berbicara tentang orang Asmat berarti berbicara tentang eksistensi mereka dengan Sang Pencipta, sesama, leluhur, moyang dan alam semesta. Karena itu, semua pihak yang hendak membantu orang Asmat harus melihat orang Asmat dalam keseluruhannya, bukan saling terpisah satu sama lain.

Saat ini, gegap gempita pemerintah Jakarta merespon KLB Asmat masih bersifat parsial. Kehadiran pejabat tinggi Kantor Sekretariat Presiden, Menteri Sosial, Idrus Marhan, Menteri Kesehatan, Nila Moeloek dan bantuan kemanusiaan lainnya, belum menyentuh substansi permasalahan orang Asmat. Sebab, sesungguhnya orang Asmat tidak semata-mata membutuhkan obat dan tenaga medis. Mereka tidak membutuhkan beras, kopi dan gula seperti yang dibagikan oleh tim penanggulangan KLB Asmat. Orang Asmat membutuhkan kebijakan khusus untuk melindungi hak-hak dasar mereka sebagai manusia Asmat yang sedang digempur oleh berbagai pengaruh dari luar.

Masih adakah ruang bagi orang Asmat untuk memperoleh pendidikan berkualitas? Masih adakah ruang bagi orang Asmat untuk mendapatkan akses layanan kesehatan yang berkualitas? Masih adakah ruang bagi orang Asmat untuk mengembangkan ekonomi demi kesejahteraan keluarganya?
Semoga gerakan bersama membantu orang Asmat keluar dari situasi KLB campak dan gizi buruk membawa mereka menemukan kembali jati dirinya sebagai orang Asmat, bukan sebaliknya mereka semakin terperangkap dalam jerat Raskin, supermi, kopi, gula dan rokok.


Artikel ini sudah dimuat di Kompasiana
dengan judul “Memahami Asmat”
dan atas izin penulis, tulisan ini dimuat kembali


Share on Google Plus

About Fafruar

1 komentar:

  1. Izin ya admin..:)
    silahkan langsung saja bermain bersama kami di Arenadomino(com) ditunggu kehadiran anda semua hadiah nyata menanti anda semua silahkan.. WA +855 96 4967353

    ReplyDelete