Sr. Huberta Manurung, KSFL |
“Jelas hati saya masih sering terbanyang ke Tanah Papua karena selama di Papua selalu aktif di sekolah, di paroki, maupun berpastoral ke masyarakat. Betapa pun tantangannya berat dengan medan di Papua, selalu ada solusi untuk tidak mundur, pantang menyerah”.
Fafruar - Sr. Huberta Manurung, KSFL bersyukur atas pengalaman
hidup yang dianugerahkan Tuhan kepadanya selama di Papua dari tahun 1984 sampai
2012. Pengalaman ini tak mudah namun
demi ketaatan dan semangat yang tinggi ia pun memutuskan untuk berkarya di
Papua.
Awal
perutusannya ke Papua karena waktu itu suster-suter Belanda dari
Bennebroek yang berkarya di Papua meninggalkan ladang misinya. Uskup Jayapura
pada waktu itu menawarkan kelanjutkan karya mereka kepada kongregasi KSFL.
Pada saat itu Sr. Huberta masih yunior, dan dalam
kapitel ditentukan siapa yang bersedia ke Papua. Namun banyak suster yang mengatakan
tidak sanggup karena alasan jarak yang jauh, alasan kesehatan karena ancaman
malaria. Sr. Huberta mengangkat tangan dan menyatakan “saya bersedia ke Papua” dan
setelah menerima kaul kekal ia berangkat ke Papua pada tahun 1984.
Sampai di Papua Sr. Huberta bingung ketika terjun
langsung di tengah umat. Situasi budaya,
hidup keseharian, kehidupan rohani dan mental masyarakat membuatnya terkejut.
Namun dalam hati, ia ingin terus mengetahui dan mempelajari sambil menyesuaikan
diri dengan fakta yang ada.
Tugas pertama yang diberikan adalah menanggani TK Kuntummekar, dan mendampingi ibu-ibu PKK di Argapura, Jayapura. Mula-mula ia merasa jengkel dan bingung karena para suster Belanda banyak memberi uang dan kebutuhan materi kepada orang miskin, menanggung biaya pendidikan anak-anak di sana, sehingga hal ini menjadi perbedaan antara suster-suster dari Sumatera Utara karena mereka hanya pergi dengan berbekal semangat dan pakaian secukupnya serta kebutuhan seadanya.
Menghadapi situasi tersebut, terkadang muncul dalam
pikiran Sr. Huberta untuk mengambil keputusan mengakhiri karyanya di Papua.
Tapi setelah cukup lama mengenal situasi, membuatnya menjadi kuat dan
bersemangat untuk terjun ke pastoral umat. Tuntutan medan pastoral di Papua membuatnya
harus mendapingi kelompok kecil hingga kelompok besar, yakni ibu-ibu PKK dan
umat paroki. Dalam hatinya ia protes karena merasa tidak mempunyai bekal
teologi ataupun filsafat. Namun situasi di lapangan turut membentuknya untuk
memberi apa yang bisa diberi untuk kebutuhan pastoral di Papua.
Tahun 1997 muncul kesulitan besar di pedalaman
Oksibil. Mendengar kesulitan yang dialami komunitas dan umat di pedalaman, tergerak
hatinya untuk terjun ke daerah pedalaman. Maka dengan pesawat udara berukuran
kecil yaitu Cessna ia berangkat ke daerah pedalaman Oksibil. Perjalanan udara
yang kadang ditempu dalam 30 menit melewati gunung dan lembah yang mencekam dan
sering di tengah cuaca yang buruk.
Di pedalaman ternyata berbagai masalah yang tentu
dihadapi baik pastoral, kesehatan dan pedidikan. Berbagai kesulitan dan
keprihatinan yang muncul terkadang membuatnya ingin pulang. Dan karena sudah lama di Papua, Sr. Huburta
kembali berkarya di Sumatera Utara pada bulan Oktober 2003.
Walau pun kesulitan dan keprihatinan yang membuatnya
ingin pulang, akhirnya menjadi kerinduan untuk kembali lagi ke Papua. Kerinduan
ini akhirnya terjawab. Pada tahun 2005 ia ditugaskan kembali di Papua yaitu di Merauke
sampai dengan tahun 2007, ia kembali bertugas di Argapura, Jayapura sebagai
bendahara di SMA YPPK Taruna Darma, Kotaraja, Abepura. Pada tahun 2010 atas
permintaan OFM untuk menanggani Rumah Retret St. Klara, di Sentani, ia
ditugaskan di sana oleh kongregasinya.
Namun ternyata kesehatannya membuat ia harus
meninggalkan Sentani, pada tanggal 5 Agustus 2012. Setelah mengurusi kesehatannya dan karena
usianya sudah tua, ia ditugaskan oleh kongregasinya untuk mendampingi para
suster muda yang studi di St. Lusia, Yogyakarta. Kini ia ditugaskan di Bekasi, Jawa Barat sampai sekarang.
Bergulirnya waktu ke waktu ia pun merefleksikan
bahwa hidup ini begitu berharga dihadapan Sang Pengutus dan sesama sebagai
tanda cinta dan bakti pada kongregasinya. “Jelas hati saya masih sering terbanyang ke
Tanah Papua karena selama di Papua selalu aktif di sekolah, di paroki, maupun
berpastoral ke masyarakat. Betapa pun tantangannya berat dengan medan di Papua,
selalu ada solusi untuk tidak mundur, pantang menyerah”.
ReplyDeleteIzin ya admin..:)
Yuk mainkan permainan POKER No ROBOT 100% silahkan langsung saja merapat dan bermain POKER bersama kami di ARENADOMINO ditunggu ya gan.. :) WA +855 96 4967353