Sumber: Aeriel Tanjung dan Martin Hardiono |
Ellyas P. Ogoney
Fafruar - Ketika pada orde baru, segala kebijakan dan keputusan yang dibuat terpusat pada pemerintah pusat: kebijakan ekonomi, keuangan, pemerintahan, dan budaya (Kewarga Negara, Retno Lisdaryanti, 2008). Sehingga pembangunanpun hanya terpusat di daerah Jawa Barat dan sekitarnya.
Namun yang lebih parah lagi kegiatan yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak tepat guna bagi masyarakat. Dikarenakan pemerintah yang tidak mengetahui keadaan dan kondisi dimana masyarakat itu sebenarnya membutuhkan lebih atau bahkan lain dari pada yang diberikan oleh pemerintah. Misalnya di Nusa Tengarah Timur, memerlukan cangkul untuk mengolah lahan, memberikan bibit padi 22 Perjuangan Menuju Perubahan tetapi di sana tanahnya tidak cocok. Sedangkan di Papua masyarakat memerlukan cangkul untuk menanam ubi diberikan beras sangatlah tidak sesuai dengan konteks masyarakat. Maka banyak terjadi penyelewengan dan permainan uang, sehingga yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan bertahan dalam keadaan seperti ini.
Pada tahun 1998/99, terjadi revormasi besar besaran karena kondisi ekonomi yang semakin terpuruk dan krisis kepemimpinan atau disebut krisis multidualisme. “Utang negara semakin meningkat sehingga sekarang disebut bahwa jika kita mau mengurangi utang maka sampai tujuh keturunan tetap miskin” (Pemikiran Ekonomi, Endan S. P Soemontoro, dosen UGM). Lalu setelah reformasi pemerintah menyadari bahwa otonomi daerah sangatlah penting untuk negara ini agar dapat mengatur daerahnya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Ada daerah yang benar-benar memanfaatkan otonomi dengan serius, dimana pemimpin daerah mengatur sesuai dengan keadaannya namun ada daerah yang pemimpinnya salah menggunakan kekuasaan itu.
Dalam kompas tanggal 10/6/2015 disebutkan bahwa 101 penjabat di seluruh negeri ini terjebak kasus
Buku Karya Mahasiswa Kabupaten Teluk Bintuni 23 korupsi. Ini bertanda bahwa di negara kita ini masih banyak memerlukan psikolog agara dapat mengubah prilaku kita yang konsumtif. Bila kita melihat kebali ke Bintuni yang sekarang sudah berumur 12 tahun, di mana usia terbentuk dan manusia itu beranjak menuju remaja yang bisa dikatakan membedakan mana baik dan buruk. Namun Bintuni masih sering dipandang belum bisa membedakan hal ini.
Yang menjadi persoalannya adalah bahwa kita tidak memanfaatkan apa yang kita miliki secara baik. Kita terdiri dari tujuh suku yang berbeda budaya dan Bahasa yang berbeda. Masyarakat di gunung memerlukan cangkul untuk menanam ubi kayu sedangkan masyarakat di pantai memerlukan jala untuk menangkap ikan. Kadang kala pemerintah tidak menyadari bahwa banyak pendatang yang menjual ikan kepada kita orang pribumi. Bila dilihat kita dibesarkan dipesisir pantai namun kita kembali membeli ikan dari orang yang bukan pribumi. Seharusnya kitalah yang menjual hasil-hasil
usaha kita kepada pendatang (bukan pribumi).
Namun kadang-kadang kita masih merasa malu untuk menjual hasil kebun atau pun hasil dari laut (ikan). Kita seringkali mencari atau menunggu kemudahan 24 Perjuangan Menuju Perubahan tanpa berusaha dan bekerja keras untuk memperoleh sesuatu. Sekarang ini kita bisa lihat terutama di Bintuni, ketika diberikan dana bantuan dari Pemerintah, bukannya untuk membangun masyarakat desa melainkan dana tersebut digunakan untuk menyelesaikan masalah adat. Karena terus dimanja dengan dana bantuan, orang tidak mau bekerja lagi. Maka tugas pemerintah harus memberikan penjelasan tentang pengunaan dana bantuan itu dengan baik.
Kalau pemerintah terus menerus memanja masyarakat dengan uang tanpa memberi penjelasan dan memberi pelatihan baik melalui dinas perikanan, peternakan dan perkebunan yang dapat membantu masyarakat mandiri dalam menentukan hidupnya sendiri, tanpa harus menunggu bantuan dana pemerintah. Hal ini akan merubah perilaku masyarakat dan lama kelamaan mereka akan tersingkir dari tanah mereka sendiri karena tanah telah dikuasai oleh orang luar.
Pemerintah harus memberdayakan masyarakat desa terutama melalui pelatihan-pelatihan kewirausahaan sehingga membantu masyarakat hidup mandiri. Sekarang ini pemerintah daerah juga hanya berhap pada pemerintah pusat serta pajak dari perusahaan-perusahaan yang ada di Teluk Bintuni seperti perusahaan kayu, dan LNG.
Semestinya dana-dana itu dipergunakan untuk membangun masyarakat dan pembangun fisik yang akan memperlancarkan perokonomian di Teluk Bintuni. Namun sampai saat ini belum nampak pembangunan di Kabupaten Teluk Bintuni.
Mungkin kita perlu belajar dari Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, yang menyulap Tarakan dari kota sampah menjadi “Singapura kecil” dalam waktu sepuluh tahun. “Dia mengatakan bahwa negara kesatuan harus dibangun dari daerah”. Bila orang lain bisa kenapa kita tidak bisa. Bintuni adalah daerah yang kaya dengan sumber daya alam serta mendapatkan otonomi kusus namun pembangunan di Bintuni semakin mudur. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Ekonomi Pembagunan
Univelisitas Gajah Mada Yogyakarta
ReplyDeleteIzin ya admin..:)
Suntuk di rumah yuk gabung dan menangkan permainan kartu bersama kami hanya di ARENADOMINO 8 game kami sediakan untuk kalian semua so tunggu ap lagi yukk... WA +855 96 4967353