Perjalanan Seorang Guru

"Menjadi guru itu bukan soal kata-kata tetapi komitmen hidup yang bersumber pada  jiwa  profesionalisme. Secuil hikmah tentang sosok pengabdi dari kaki gunung Tambrauw."


Oleh: Kosmas Sedik 



Pandangan Umum
Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 negara Jepang mengalami suatu musibah perang dahsyat secara khusus di dua kota yakni kota Hirosima dan Nagasaki yang menewaskan 140.000 dan 80.000 orang secara kejam.Bom ini dijatuhkan atas perintah president Amerika Serikat,Herry S. Trumant dan titik cerah yang terjadi yakni enam hari setelah perang ini Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu Amerikan dengan menandatangani instrument pada tanggal 2 September 1945 guna mengakhiri perang Pasifik dan Perang Dunia ke-II. Dalam lembaran sejarah, pengebomaan ini termasuk salah satu dari beberapa bom terdahsyat yang pernah terjadi di dunia. Little boy dan fat man merupakan kedua bom nuklir yang dijatuhkan pada waktu itu. Begitu banyak kerugian nyawa dan harta benda yang menimpa negara Jepang akibat perang ini. Namun, suatu catatan penting yang perlu dilihat bahwa yang ditanyakan setelah perang bukan berapa harta benda yang masih ada, tetapi yang ditanyakan berapa tenaga pengajar yang masih hidup. Catatan histori ini membuktikan kepada dunia bahwa bagaimana pentingnya peran seorang guru dan tenaga pendidik di mata dunia[1].


Kosmas Sedik

Dalam konsepnya,guru adalah pribadi dan sosok yang memiliki profesi dan jabatan yang membutuhkan keahlian dan komitmen khususu. Guru adalah sosok pejuang dan pekeja keras. Lebih-lebih bagi mereka yang   menagajar  dan mendidik pada taraf pendidikan dasar, karena mereka harus memakasakan mereka yang tidak tahu sama sekali menjadi tahu, kenal, dan paham. Guru dituntut untuk selalu mampu menyesuaikan karakter setiap insani pada setiap perubahan zaman. Sangat disayangkan bagi mereka yang mengabdi di wilayah yang tidak terisolir oleh jangkauan apa pun.

Namun realitas hari ini tidak berbicara demikian, realiatas hari ini malah terbalik. Di Papua secara khusus, pemekaran yang merupakan implementasi dari UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No.21 tentang otonomi khusus bagi provini Papua yang berakibat fatal terhadapa dunia pendidikan di Papua. Setelah bergulirnya undang-undang otonomi khusus, Papua menagalami ketimpangan cukup serius di dunia pendidikan, dimana mereka yang berprofesi sebagai tenaga guru dan pengajar harus dipakasanan untuk menduduki jabatan strategis pemerintah seperti kepala distrik dan kepala bidang.

Lain lagi ceritanya, ketika masyarakat disibukkan dengan pembangunan proyek-proyek fisik yang tidak  berdaya guna yang lebih mengutamakan kuantitas ketimbang kualiatas. Sehingga jangan heran kemudian timbul sejumlah penafsiran dari berbagai pihak bahwa otonomi khusus merupakan konstruksi kebijakan pemerintah guna menghancurkan secara perlahan-lahan generasi Papua.

Di Kabupaten Tambrauw secara khusus, sebelunya bukan bermaksud mengkritik tetapi hanya menyampaikan kenyataan dunia pendidikan hari ini di Tambrauw sebagai tanah kelahiran penulis. Kabupaten yang dibentuk sesuai UU No. 56 tahun 2008 meskipun kemudian diubah menjadi UU No.14 tahun 2013 ini sejauh ini cukup menunjukan komitmenya terhadap pembangunan sumberdaya manusia  namun tantangan tersendiri bahwa sejumlah tenaga pengajar terpaksa harus menduduki jabatan strategis pemerintahan. Sehingga selalu saja muncul kabar miring tentang perkembangaan pendidikan di Tambrauw.

Meskipun pemeritah telah menyediakan sejumlah fasilitas pendukung seperti sekolah, perpustakaan, dan perumahan guru. Bila dipandang lebih jauh soal regulasi dan kebijakan yang menjamin tenaga pengajar dalam melakasanakan tugas masih sangat lemah dalam proses pengontrolan terhadap kinerja guru. Sebut saja UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dimana kompentensi guru mencakup pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial menjadi pertaruhan khusus. Sementara ancaman modernisasi dan globalisasi yang berujung pada komersialisasi pendidikan pun semakin ngotot. Legislator daerah terlihat konyol tidak berdaya karena dijadikan hamba oleh proye.k dan money politik. Fungsi representasi masyarakat di bidang pendidikan hanya sebatas teori dan sandiwara belaka.

Sekilas Tokoh
Gabino Sedik lahir di Senopi pada tanggal 19 Desember 1955, anak dari bapak Witot Sedik, dan ibu Wase Syufi adalah salah satu dari beberapa sosok pengajar dan pendidik yang pernah makan garam di wilayah pedalaman kepala burung. Anak dari bapak Witot ini, menempuh pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di senopi pada tahun 1969-1972, kemudian melanjutkan Sekolah Guru Bawah (SGB) pada tahun 1973-1975 di Waena, Holandia, sekarang Jayapura. Selanjutnya, mengakhiri pendidikan formalnya di Sekolah Guru Atas (SGA). Dan menikah pada tanggal 26 Desember melalui tangan Pastor Piit Teep O.S.A.

Pria berpostur pendek ini selanjutnya, mengawali karirnya dengan menjalani tugas sebagai guru sukarela di SD YPPK Patma 1 Manokwari pada tahun 1976 dari bulan Maret hingga Juni. Selanjutnya, ia menajalani tugas sebagai guru sukarela juga di tanah kelahinya Senopi pada tahun 1976. Dan tepatnya pada tanggal 1 Juli 1976 memperoleh status baru dalam karirnya yakni sebagai guru honor dengan upah Rp 10.000/bulan. Tugas ini dijalani dengan penuh pengabdian, dan tanggujawab hingga pindah ke Ayawasi.               
                                           
Situasi di Ayawasi juga tidak begitu jauh berbeda dengan Senopi karena masih ada hubungan keluarga yang terjalin erat melalui hubungan kain timur dan moment kebudayaan lain yang masih terikat erat. Kemudian ia memperoleh peningkatan status, diangkat sebagai calon pegawai negri sipil pada tanggal 1 Februari 1978 oleh Bupati Kabupaten Sorong. Tidak lama kemudian selang satu bulan setelah itu sosok yang sering dipanggil Siendara ini resmi diterima sebagai pegawai negeri sipil pada tanggal 1 Maret 1978.

Di awal menjalani karir resmi ini ia tetap menjalankan tugasnya selama dua tahun. Kemudian pada bulan Oktober 1980 dipindahkan ke Feef guna menjalankan tugas  yang sama namun di tempat yang berbeda. Jarak antara Feef dan Ayawasi begitu jauh lebih rumit lagi situasi saat itu yang tidak ada transportasi lain selain jalan kaki dan bermalam tengah hutan berapa malam sebelum sampai di tempat tujuan.

Namun ada hal menarik bahwa jalan kaki itu banyak hiburanya walaupun rasa lelah tetapi semua itu bisa hilang sebentar kalau bertemu keluarga yang tinggal di tengah jalan. Biasanya mereka memperoleh hasil buruan yang banyak, seperti ikan, burung, babi, rusa, dan kuskus. Ketika bertemu pasti disuruh nginap di tengah jalan tiga sampai empat malam di tengah jalan.[2] Perjalanan Ayawasi, Feef harus nginap di kali Ibuw, kemudian keesokan harinya nginap lagi di kali Esim, hari berikunya nginap di Wiim, dan hari berikutnya  nginap di Konja, hari ke lima barulah tiba di tempat tujuan. Begitu pula kalau berrangkat ke Sorong, hari pertama nginap di Syubun, hari kedua nginap di Bamus Bama, hari ketiga nginap di Baun, hari keempat nginap di Selewok, hari keenam nginap di Mega, sekarang ibukota distrik Moraid, barulah tiba di Kota Minyak, Sorang, itu pun kalau ada sarana transportasi laut berupa lombot.

Setelah beberapa tahun menjalankan tugas di Feef akhirnya pada tahun 1985 diberi kepercayakan oleh pihak Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Keuskupan Manokwari Sorong dan  Dinas Pendidikan Kabupaten Sorong untuk memipin rekan-rekan gurunya.

Tugas sebagai kepala sekolah ini dijalankan selama lima belas tahun. Banyak keberhasilan dicapai disana. Selain mengabdi sebagai tenaga pengajar ia juga terlibat dalam kehidupan sosial masyarakat di kampung Ases. Baru setelah beberapa tahun kemudian berkat semangat gotong-royong masyarakat sekitar Ases - Feef dan semangat pelayanan misi melalui Yayasan AMA (Asciation Mission Aviation), dibagulah salah satu sarana trasportasi yakni lapangan terbangang.

Kebutuhan masyarakat dan tenaga pengajar sedikit demi sediki terlayani melalui pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat mulai terlaksana dengan baik. Siswa memperoleh buku-buku layak pakai dari kota, pelayanan kesehatan setiap hari di puskesmas selalu berjalan lancar, hasil kebun berupa kacang tanah, dan hasil olahan minyak kayu lawang dari masyarakat bisa bernilai ekonomis di pasaran. Hal ini terbukti bahwa perhatian Keuskupan Manokwari Sorong kepada masyarakat sungguh berjalan secara efektif dan efisien.

            Saya sendiri sebagai anak ke tujuh, pada usia –usia mulai sekolah saya masih teringat sedikit bagaimana kehidupan keluaga kami saat itu di Feef. Pelayanan pesawat Cesna tidak selalu rutin setiap bulan, sehingga ayah selalu membiasakan diri untuk tidak tergantung pada beras. Ayah sangat rajin kerja kebun, sehingga kadang banyak masyarakat bercanda, “pace ini dia rajin kerja kebun di dua tempat”. Ketika mendapatkan kiriman jatah beras ayah pun selalu membagikan kepada masyarakat, meskipun tidak banyak, tetapi sedikit-sedikit semua mendapat bagian.

          Di rumah kami tidak hanya keluarga inti yang ada, tetapi ada sanak saudara dari kampung sekitar yang memperoleh pendidikan di Feef waktu itu, sebagian besar tinggal di rumah dengan kami. Perlakuan ayah  dan ibu di rumah tidak pernah membeda-bedakan, semua diperlakuakan sama seperti anak kandung sendiri. Di kebun pun demikian, karena jumlah kami seisi rumah yang banyak maka kebun kami pun besar. Ayah saya selalu mengajarkan kami bagaimana cara menam pisang, singkong, dan keladi. Kami diajarkan supaya tidak memetik yang bukan milik sendiri atau hasil tanam sendiriAyah selalu mengerjain kami dengan menyuruh membersihkan rumput di kebun, di tempat yang kami bersikan sudah ada pisang masak. Ketika kami bersihkan tempat itu dan ketemu kami tanya ini punya siapa? Lalu ayah menjawab makan saja, pada hal ayah yang menyembunyikanya. Saya baru sadar kalau ayah secara tidak lansung mau mengajarkan bahwa segala sesuatu diperoleh dengan keringat dan kerja keras karena tidak ada yang siap saji di dunia ini. Peran ibu Martina Fatem tidak kalah saingnya. Kesuksesan berkarir tidak terlepas dari keterlibatan perempuan hebat satu ini. Keterbukaan dan tangungjawab dalam rumah tangga cukup terasa. Sehingga, anak ke-2 dari bapak Kataryase Fatem ini mempunyai andil yang begitu besat untuk pengabdian bapak Gabino Sedik.

            Setelah begitu lama di Feef, tanpa nota dinas yang resmi dari pemerintah maupun pihak yayasan, namun didorong oleh kecintaan terhadap dunia pendidikan. Maka, peraih guru teladan tahun 2013 oleh Bupati Kabupaten Tambrauw ini kemudian memutuskan untuk mudur lebih jauh ke dalam untuk mengabdi bagi saudara-saudara di Ayapokiar. Berangkat dari Sausapor pada tahun 2000 berjalan kaki dari Sausapor menuju Ayapokiar.

Bersemangatkan pengabdian, bersama tiga anak kandung dan beberapa saudara, keluar dari Susapor hari Senin berjalan kaki akhirnya tepat dua minggu tiba di Ayapokiar. “Di tengah jalan, hujan banjir, kami tidur di tengah hutan belantara yang beratapkan daun rumbia dan melewati jembatan titian di kali Kamundan yang cukup mengerikan”. Namun banyak hiburan selain ditemani kicauan burung tetapi juga tape recoder enam batrey dengan lagu-lagu dari Leoala Dragel, Pance Pondang, dan Desi Osok yang selalu menemani di tiap  malamnya selama perjalanan.

Ketika tiba di Ayapokiar, kampung terlihat sepi suasan terasa agak berbeda, rasanya ingin pulang ke Feef namun apa boleh buat, ibarat nasi sudah jadi bubur. Hari-hari awal berbagai ajakan mulai dilakukan guna merintis suatu pendidikan baru. Memang agak sulit untuk mengumpulkan anak-anak yang terpencar-pencar di dusun sagu dan di kebun-kebun bersama orangtunya.

Hari demi hari dijalani, akhirnya meraih dukungan masyarakat untuk memulai pendidikan kelas jauh dengan nama  SD YPPK Ayapokiar. Lebih disayangkan lagi jarak Ayapokiar - Sorong yang ditempuh cukup jauh kurang lebih ini dua minggu, sama halnya dengan jarak Ayapokiar - Manokwari begitu jauh. Tetapi semangat pelayanan dan pengabdian tidak terpadam karena jarak dan medan yang cukup rumit alias peta fatem nsia put sos (mendaki gunung dan menjajak lembah). Kemudian pada Tahun 2005 sekolah yang awalnya berlantaikan pasir putih ini mengalami peningkatan dan mendapat kepercayaan khusus menyelenggarakan pendidikan dasar enam tahun secara otonom berdasarkan surat keputusan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sorong.

Setelah hadirnya Kabupaten Tambrauw maka SD YPPK Ayapokiar mendapat pengakuan khusus bahwa outpun mampu bersaing sekolah-sekolah berkualitas seperti Seminari Petrus Van Diepen Di Aimas dan SMA Vilanova Manokwari. Akhirnya puncak dari segala perjuangan ini tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2013 melalui upacara resmi kenegaraan, Gabino Sedik diumumkan sebagai Guru Teladan se-Kabupaten Tambrauw yang merupakan penghargaan secara spontan di hadapan seluruh elemen masyarakat yang hadir pada waktu itu. Dengan pemberian penghargaan tersebut bukan berarti akhir dari karya tetapi, karir berlanjut hingga senja menjemput.

Berdasarkan penuturanya dan memperoleh beberapa pengakuan dari sejumlah pihak bahwa sosok yang sering yang humoris ini juga pernah mengikuti pendidikan non formal lain yang ia geluti demi meningkatan ketrampilan dalam mengabdi gereja dan masyarakat seperti  kursus Perkembangan Desa yang diselenggarakan oleh tim penata gereja Katolik dari Bogor  pada bulan Juni sampai oktober 1978,Pendidikan kader kesehatan di Ayawasi pada bulan Mei hingga Februari 1982, studi kelayakan pendidikan Katolik di daerah sekitar Jawa Tengah selama dua tahun yakni dari tahun 1993 hingga 1995, penataran keliling tingkat provinsi pada bulan Mei tahun 1999, sertivikasi pendidikan guru tingkat sekolah dasar pada bulan Oktober 2011 di Jayapura, dan diklat peningkatan kepala sekolah di Yogyakarta pada bulan Agustus 2015 serta masih banyak kegiatan peningkatan kepribadian dan keterampilan yang lain yang belum sempat disebutkan satu persatu.

Begitu pula jabatan serta tugas lain yang pernah diemban yakni kader kesehatan kampung Asses-Feef, pengurus PT AMA Keuskupan Manokwari Sorong di Feef, pendamping dan penasihat kampung Asses, kader partai Golongan Karya Kecamatan Sausapor, aparatur kampung Ruvewes, dan Kepala Kampung Ruuv. Tidak kalah pula soal adat, sebagai putra kelahiran pedalaman Papua Barat pasti tahu dan terlibat secara aktif dalam sistem pertukanaran kain timur atau tehah on setra terlibat menyelesaikan permasalahan adat di lingkungan sekitar melaui yaru safo ensia syotak epo taman, menyelesaikan persoalan dengan membayar kain timur yang cukup bernilai.


Ending Messages Perjuangan Seorang Guru
            Perjuangan dalam menjalankan tugas di pedalaman Papua Barat, memang terasa berat dan rumit. Justru karena berat dan rumit itulah seorang kader Katolik harus lebih berani untuk menjalankan tugas seperti semanagat Yesus Kristus memikul salib menuju Golgota (Mat 27:27-56). Yesus Kristus di olok-olok kemudian dijatuhi hukuman mati di Bukit Golgota. Yesus hanya memikul salib berat saja, tetapi Dia sempat jatuh tiga kali namun Dia tidak berhenti di situ. Yesus terus menyanggupkan diri hingga tiba di  tempat terakhir.

Begitu pula setiap pengikut Kristus dalam setiap langkah pasti, bahkan selalu mengalami hal yang namanya tantangan. Lebih-lebih pada masa itu, guru tidak hanya menjadi guru di ruang kelas tetapi harus menjadi guru di altar gereja. Guru tidah hanya pandai menghafal dan menyapaikan teori sosial dan matematis tetapi guru harus mampu memimpin dan mengarahkan umat dalam segala kegiatan menggereja. Tingkatan agak atas lagi bahwa guru pada masa itu tidak hanya menyampaikan  hal yang mereka ketahui, tetapi harus mampu menyapaikan hal yang mereka sendiri mampu melaksanakan.

Integritas diri seoarang guru pada masa itu menjadi bekal mutlak.[3] Bila sedikit lebih jauh melihat bagaimana kabar miring dari umat akhir-akhir ini bahwa guru dan pastoral saat ini hanya mau mengabdi di tempat yang ada sinyal dan jalan raya.[4] Kalau memang demikian, lalu generasi Papua mau dibawah kemana?

Lebih sedikit jauh tentang sekilas tokoh di atas, menurut penuturanya, begitu banyak pengalaman mengerikan dan menciutkan kening yang pernah dijalani seperti Anak  ke-3 (tiga), yang terpaksa harus cacat di kampung Tabamsere. Diterpa banjir di Kali Ayes ketika melakaukan perjalanan dinas dari Tabamsere menuju Ayawasi, melewati jembatan rotan di sungai namun renyot dan hampir putus. Ia bersama tiga orang anak, saat itu suangi dalam keadaan banjir. Mungkin dicoba roh jahat atau makluk tak kelihatan ketika bermalam sendirian di  hutan belantara pinggir kali Wim,  pertengahan antara Feef-Ayawasi waktu itu mengantar ijasah murid-muridnya. Cobaan lain ketika menumpangi pesawat Pilatus Portel  tujuan Senopi yang terpaksa harus melakukan pendaratan darurat di Kebar karena cuaca tidak mengijikan, dan yang terkahir yang cukup mencabik hati dan merenggut nyawa ketika intervensi pihak-pihak tertentu terhadap kepemimpinan tenaga pengajar di SD YPPK Ayapokiar tanpa mengahargai pengorbanan dan jasa baik Gabino Sedik sebagai pelopor pemula sekolah tersebut, serta masih banyak lagi kisah tentang bagaimana manis pahitnya melaksanakan tugas pada masa itu yang belum sempat diceritakan semua.

Itulah sepengal kisah bagaimana menjadi seorang guru dan tenaga pengajar. Bila dibandikan  dengan tenaga pengar pada masa sekarang ini, mungkin sulit bahkan jarang sekali ditemukan pribandi yang memiliki jiwa seperti itu. Ketika ditanya, mengapa semua tantangan itu dihadapi dengan senyuman? Jawabannya sederhana dari ayah sepuluh anak dan tujuh cucu ini bahwa “menjadi guru itu bukan soal kata-kata tetapi komitmen hidup yang bersumber pada  jiwa  profesionalisme”. Dan dijiwai oleh filosofi tersendiri seperti hidup itu berguna bila pengabdian dilaksanakan bagi banyak orang dengan penuh cinta dan kasih sayang. Rumah, jabatan dan pangkat tidak penting tetapi pelayanan lebih penting, dan walau tidak punya rumah, tetapi semua anak harus bisa memperoleh pendidikan yang baik dan benar. Karena hanya dengan pendidikan mereka mampu mengembalikan jati diri dan martabatnya sebagi manusia sejati dan ciptaan Allah.


Penulis, Alumni Seminari Petrus Van Diepen Aimas Sorong





[1]Dikembangakan dari postingan Mario Mackovic Sabtu 8 Agustus 2015
[2]Hasil wawancara  pada tanggal 16 Februari 2016
[3]Refleksi atas perikop Injil Matius 27:27-56
[4]Pendapat umat atas hasil pendekatan penulis pada tanggal 12 Februari 2016
Share on Google Plus

About Fafruar

1 komentar: