Di pendalaman Papua masih
membutuhkan guru-guru yang sungguh-sungguh merelahkan dirinya bagi pendidikan
anak-anak. Memang medan yang cukup menantang membuat banyak guru yang tak mampu
menahan diri untuk bertahan di pedalaman. Namun ada pula yang mengorbakan
dirinya demi mendidik anak-anak di pedalaman Papua.
Perjuangan dan pergumulan menjadi guru di pedalaman bukan hal mudah
seperti kisah Maria Hurulean. “Awalnya kami mengajar, anak-anak yang sudah duduk di bangku kelas 5
SD belum bisa membaca dan menulis. Kami berusaha untuk menyelesaikan persoalan
dasar ini. Kami berbagi peran. Saya menangani kelas kecil 1-3, sedangkan suami
saya menangani kelas besar 4-6. Yang kami kerjakan di tahun-tahun awal adalah
menuntaskan 3 M. Kami mau agar anak murid kami bisa melakukan 3 M itu yakni
bisa membaca, bisa menulis dan bisa menghitung”,cerita Maria
Hurulean, di rumahnya di Kampung Yufri.
Apa yang dikerjakan di SD
Inpres Basin, juga diterapkan di SD YPPK St. Yohanes Pemandi Yufri, Distrik
Joerat, Asmat. Kedua pasangan suami istri ini berusaha melaksanakan tugas
perutusannya.
Maria Hurulean berasal
dari Kei, Maluku Tenggara. Dia dilahirkan di Asmat. Pengalaman menjadi seorang
guru dimulai pada tahun 1986 di SD Inpres Basin, Distrik Fayith, Asmat. Selama
17 tahun Maria dan suaminya Romanus Meak mengabdikan dirinya di SD Inpres Basin
tersebut. Maria dan suaminya harus berjuang keras membantu anak-anak di Basin
untuk bisa membaca.
“Waktu kami tiba dan mengajar di SD Yufri sini, kami juga menerapkan
hal yang sama. Kami perlu menuntaskan hal-hal mendasar itu yakni 3 M yang saya
jelaskan tadi. Persolan penolakan masyarakat sangat biasa di dalam perjalanan
kami sebagai guru. Tetapi kami berdua tidak patah semangat dan putus asa. Kami
memberikan dan membiasakan anak-anak untuk membaca bacaan yang sederhana.
Proses selanjutnya adalah tanya jawab dan jawaban mereka itu coba kami ajak
mereka untuk menulisnya. Hal ini kami lakukan secara terus menerus. Karena kami
tahu di rumah belum tentu mereka belajar. Kesempatan belajar kebanyakan di
sekolah. Kami pernah tidak mendaftarkan diri untuk ikut ujian karena
muris-murid kami belum siap. Kami tidak mau menipu diri. Hal ini terjadi pada
tahun ajaran 2008/2009 silam. Kalau kita membantu mereka ujian itu berarti kita
membunuh anak-anak kita”, cerita Ibu
Maria.
Apa yang disampaikan Maria
juga diamini oleh suaminya, Romanus Meak. Romanus adalah salah satu guru yang
juga ‘keras kepala’ karena tidak mau mengikuti sistem pendidikan yang
diturunkan secara lurus dari pusat.
“Sistem pendidikan itu selalu berubah. Satu mentri yang naik, ganti
sistemnya. Untuk kita di pedalaman Papua, tidak perlu memaksa yang lebih
banyak. Itu boleh menjadi pengetahuan guru tetapi tidak serta merta
menerapkannya kepada anak murid kita. Kami tidak mau menipu diri kami. Bagi
kami adalah anak kami bisa membaca, menulis dan menghitung. Saya tidak bicara
sombong tetapi kalau menguji anak-anak SD di Asmat sini yang bisa baca dengan
baik, kami dari Yufri sudah bisa. Belum ada anak SD di Pedalaman Asmat
sini yang bisa membaca bacaan kitab suci selain kami dari Yufri. Itu juga karena
pengakuan dari para pastor yang melayani kami di Asmat sini”, tutur Romanus Meak.
Selain mendidik anak, pengenalan
akan budaya setempat juga sangat penting. Dengan demikian nilai-nilai budaya
dapat dimasukan di dalam proses belajar mengajar di sekolah. Ibu Maria
menjelaskan bahwa mereka juga melibatkan penjaga sekolah yang adalah orang
seniman. Penjaga sekolah tersebut diminta bantuan untuk memberikan pelajaran
bagaimana proses memahat dan mengukir potongan kayu menjadi sebuah patung yang
bagus dan indah.
“Kami melibatkan Anton Awareb untuk membantu anak-anak di SD Yufri
tentang bagaimana memahat dan mengukir sebuah patung. Kami melibatkan orang di
sini karena mereka sangat tahu tentang budaya dan kebiasaan masyarakat di
sini”, jelas Ibu Maria.
Proses belajar mengajar di
sekolah tidak terlepas dari proses shering antar guru terhadap segala persoalan
yang dihadapi. Di SD YPPK Yufri, Maria selalu mengajak para gurunya untuk
bertukar pikiran setiap akhir bulan. Hal ini dimaksudkan agar dapat melihat
bersama segala kesulitan dan secara bersama pula mencari solusinya. Di tahun
2018, SD YPPK Yufri mendapat tambahan dua tenaga guru. Jumlah guru yang
mengajar di SD YPPK St. Yohanes Pemandi Yufri adalah 5 orang ditambah satu
penjaga sekolah yang adalah guru seni pahat dan ukir.
Maria Hurulean sangat
yakin bahwa karakter dan kebiasaan anak-anak bisa dibentuk untuk sesuatu yang
baik dan yang memang berguna bagi masa depan mereka. Ibu Maria menjelaskan
ibarat tanaman kalau tumbuh miring dan tidak diperbaiki maka akan tumbuh
miring. Tetapi kalau diperbaiki dengan baik maka ia akan tumbuh lurus. “Membangun pendidikan
di Papua adalah apakah kita punya hati atau tidak untuk anak-anak kita. Salah
satu indikator bahwa kita tidak punya hati adalah anak-anak tidak bisa membaca.
Itu berarti gurunya tidak punya hati untuk membantu anak-anak didiknya”, ungkap
Maria.
Maria Hurulean berusaha
menjawab tuntutan pendidikan zaman sekarang. Dia berusaha meyakinkan orang lain
bahwa anak didiknya harus mampu dan bisa bersaing dengan yang lainnya, penuh
dengan perlengkapan sarana dan prasarana pendidikan. Mereka tidak banyak
mengeluh tetapi mereka terus berbuat, mencari solusi yang terbaik untuk masa
depan anak didik mereka.*** (http://fransiskanpapua.org)
Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
ReplyDeleteKesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802
numpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*