Dunia menyediakan ruang untuk berkisah. Kisah
itu bisa dialami melalui perjumpaan yang paling sederhana. Kisah tentang hidup,
kini dan ke depan. Di balik kisah perjumpaan itu, tersirat makna yang
memberikan daya untuk setia pada pilihan hidup dan karya yang dijalani. Semua
itu tergantung pada daya refleksi masing-masing pribadi yang memiliki kisah itu.
Cuaca di kota Merauke cerah. Saya
melangkahkan kaki menuju pelabuhan Merauke. Sesuai jadwal di tiket, KM
Tatamailau, akan berangkat pada pukul 15.00 WIT. Ponakan saya, Paskalis
mengantar saya ke pelabuhan. Sampai di sana, kapal belum sandar. Informasi yang
diperoleh, kapal masih di muara, karena air masih surut. Bersama ponakan, kami
menunggu di ruang tunggu. Itulah serpihan kisah hari ini, Jumat, 30 Juni 2017
silam.
Ruang tunggu itu merupakan sebuah bangunan
berukuran cukup besar. Bisa menampung ratusan penumpang yang hendak berangkat
menggunakan kapal. "Om kalau musim liburan Natal, ruang ini penuh
sesak," tutur ponakan saya. Ia bercerita berdasarkan pengalamannya tahun
lalu saat mengantar omnya, Hendrik yang hendak berangkat ke Tual.
Gabar ini merupakan gambar ilustrasi |
Di ruang ini ada kamar pelayanan kesehatan.
Tampak di depan bangunan itu, sebuah ambulance. Ruang ini dilengkapi televisi.
WC dan kamar mandir berfungsi baik. Sayangnya, tempat duduk terbatas, sehingga
sebagian besar penumpang tidak duduk di kursi. Mereka duduk di lantai tehel
sambil bercerita satu sama lain. Saya dan ponakan duduk di lantai karena pada
saat kami masuk, penumpang sudah banyak di dalam ruangan itu.
Pukul 17.00 WIT, stom kedatangan KM
Tatamailau memecah kesunyian senja pelabuhan Merauke. Para penumpang
berbondong-bondong menuju pintu ke pelabuhan, tempat kapal bersandar. Di
kejauhan, tampak tangga telah diturunkan. Para penumpang pun bergegas turun. Di
sini, kami mengantri di depan pintu menuju kapal.
Tidak lama menunggu, pintu pagar dibuka.
Pintu itu sempit. Para penumpang saling berebut keluar. Satu persatu berjalan
menuju kapal. Dari arah berlawanan para penumpang yang baru tiba berjalan
meninggalkan pelabuhan. Para polisi mengatur penumpang untuk berjalan sesuai
arah, datang dan pergi. Polisi kalah jumlahnya, ditambah tanpa alat pengeras
suara sehingga para penumpang berjalan seenaknya.
Peristiwa menyedihkan terjadi di depan tangga
naik ke kapal. Saya menyaksikan, manusia puluhan manusia berebut naik ke tangga
kapal. Persis di depan saya ada beberapa anak kecil. Saya berusaha menghentikan
langkah sambil menahan agar orang di belakang saya tidak serobot naik ke
tangga. Dua orang polisi yang berdiri di dekat tangga membantu melerai
kerumunan manusia di tangga ini. Beberapa anak kecil itu, bisa melangkah bebas
bersama orang tuanya ke kapal.
Pukul 18.00 WIT, saya dan ponakan sudah
berada di dalam kapal. Saya beli tiket ekonomi, seharga 223.000 sehingga kami
mencari ruang di dek 3. Tidak sulit menemukan tempat tidur kosong karena
Merauke merupakan pelabuhan terakhir. Penumpang ke Agats, Tual dan daerah lain
tidak banyak. Di salah satu tempat tidur di dek 3 bagian depan inilah saya
tidur.
Setelah mendapat tempat tidur, Paskalis
berujar, "Om, bagaimana ya WC dan kamar mandinya?" Dia bergegas
menuju WC dan kamar mandi. Tidak lama kemudian dia kembali dan berujar,
"Om, parah." Begitulah kondisi KM Tatamailau, kapal tua yang
fasilitasnya terbatas dan kondisinya hampir tidak layak digunakan. Ruangannya
pengap, panas dan beraroma tidak sedap. Di dinding kapal bagian dalam, tampak
kecoak berkeliaran.
Pukul 18.30 WIT, stom diikuti pemberitahuan
bahwa kapal akan segera berangkat ke Agats. Paskalis segera meninggalkan kapal.
Saya mengantarnya ke pintu keluar. Di sana, manusia berebutan turun.
Pukul 19.00 WIT, stom kembali berbunyi.
Jangkar telah diangkat. Tali tambat di pelabuhan telah dilepas. KM Tatamailau
bertolak ke Agats. Di salah satu tempat tidur di dek 3, saya duduk
sendirian. Saya 'menikmati' pengap, panas, aroma tak sedap. Saya tidak
sendirian, di samping kiri, ada seorang ibu bersama empat enak. Di bagian depan
ada seorang ibu bersama dua anaknya yang masih balita. Di bagian belakang ada
seorang Bapak bersama istrinya. Kami bersama satu lorong.
Kondisi cuaca kurang bersahabat. Ombak besar.
KM Tatamailau terombang-ambing menahan ganasnya gelombang laut Arafura. Ibu
yang tidur di bagian depan saya, muntah berulang kali. Setiap kali muntah, ia
berujar, "Cepat sampai kah...!" Saya menahan aroma tak sedap.
Beberapa kali saya mengarahkan kepala ke tempat lain supaya tidak langsung
menghirup udara bekas muntahannya itu.
Si ibu memiliki dua anak yang lucu. Mereka
berlari ke sana ke mari tanpa tahu pada ibu mereka yang sedang menderita karena
mabuk laut. Tidak jarang si ibu menegur kedua anaknya supaya diam dan jangan
berlari.
Suasana di dalam KM Tatamailau terasa kurang
nyaman. Beberapa kali saya keluar menatap malam. Di langit sana tidak ada
bintang. Gelap. Di lorong-lorong kapal itu, tampak beberapa orang berdiri.
Mereka berbagi cerita. Di lorong lain, beberapa orang duduk di atas tikar
sambil bermain kartu.
Suasana batin terasa lega pada saat KM
Tatamailau membunyikan stom, tanda tiba di pelabuhan Agats. Waktu menunjukkan
pukul 05.10 WIT. Saya bergegas mengangkat tas dan pergi ke tangga turun. Di
sana, sudah berjejer penumpang yang akan turun. Walaupun sudah menunggu lama di
depan tangga, saya memilih bersabar sampai sebagian besar penumpang turun, barulah
saya pun turun.
Pagi ini, cuaca di kota Agats mendung.
Meskipun sudah pukul lima lewat, tetapi masih tampak gelap. Di pelabuhan Agats,
saya berpapasan dengan seorang pengojek yang saya kenal. "Kaka, ojek
kah?" tanyanya. Dia langsung mengangkat tas menuju motornya. Dia mengantar
saya sampai di tempat saya tinggal, Jl. Dendeuw. Saya membayarnya 60.000.
***
Setengah Cinta
Kisah perjalanan dari Merauke ke Agats, Asmat
mengingatkan kita-minimal saya- tentang cinta. Bagaimana (cara) kita menyatakan
(mewujudkan) cinta kepada sesama? Bagaimana kita melayani sesama dengan cinta
yang besar? Bagaimana kita memperlakukan sesama? Mengapa kita suka sekali
mendahului, mau mengambil tempat terdepan dan mengabaikan sesama, terutama
mereka yang paling rentan?
Di pintu keberangkatan menuju kapal dan di
tangga naik ke kapal, orang (manusia) saling berebutan. Di tempat itu, manusia
saling mengabaikan sesama. "Pokoknya, saya sampai terlebih dahulu di
kapal. Di sana, saya mau pilih tempat yang paling aman buat saya dan keluarga."
Saya berimajinasi seperti itu. Semoga tidak keliru.
Mengapa orang (manusia) tidak mempersilakan
sesamanya untuk mendahului dirinya sesuai antrian yang ada? Mengapa manusia
mengabaikan sesamanya? Ironisnya, yang diabaikan adalah anak-anak kecil. Kepada
siapakah mereka akan mengharapkan perlindungan, jika orang tua (orang yang
lebih dewasa) mengabaikan mereka.
Kejadian baku rebut tempat tidak hanya di
kapal. Di pintu masuk bandara. Di pintu ke dalam pesawat. Bahkan di berbagai
pesta, yang menghidangkan makan, orang berebut menjadi yang terdahulu.
Menyaksikan perilaku baku rebut semacam ini,
kita perlu mempertanyakan kembali hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk
sosial. Apakah benar kita adalah makhluk sosial yang mengakui
kesalingbergantungan kita? Kalau kita saling berpaut satu sama lain, mengapa
kita saling mengabaikan? Inilah realitas nafsu menguasai yang ada pada diri
manusia. Sebagai pribadi-pribadi yang terpanggil untuk berkarya di area
perubahan sosial, kita perlu menata hidup kita agar menjadi pribadi yang mau
mendahulukan sesame.
Pengalaman mulai dari ruang tunggu di
pelabuhan Merauke, berdesakan ke kapal, di dalam kapal, sampai turun dari kapal
mengingatkan saya pada ketidakikhlasan manusia untuk saling mencintai. Manusia
saling berlomba untuk menjadi yang terdepan dengan mengabaikan sesamanya.
Manusia tidak peduli lagi pada sesamanya.
Situasi semacam ini juga dapat dijumpai di
dalam keluarga, lingkungan kerja, dan di tengah masyarakat kita. Kita patut
berefleksi, "Apakah selama ini, saya mau menjadi yang terdepan dengan
mengorbankan sesama? Apakah selama ini, saya sudah mendahulukan sesama
ketimbang diri saya sendiri? Apakah selama ini saya sudah mencintai sesama:
suami, istri, anak-anak, rekan kerja, dengan sepuh hati atau saya mempraktekkan
sikap "cinta setengah" pada mereka?
Kisahkanlah "cinta penuh" pada
sesama. Suatu cinta yang lahir dari ketulusan memberi dan mendahulukan sesama
ketimbang diri kita sendiri. Suatu cinta yang tidak mengharapkan balasannya.
Perhatikanlah sesama, terutama kaum paling rentan, orang miskin, kaum papah,
anak gelandangan, para pengemis. Cinta kita mengalami kepenuhan, "cinta
penuh" pada saat berbagi dengan mereka. Di sudut-sudut tempat kita
tinggal, di pasar, di lorong-lorong kumuh, di sanalah mereka menanti
"cinta penuh" kita.
Dari "KM Tatamailau, panas dan
pengap" itu, kita arahkan pikiran, hati dan budi kita kepada mereka: kaum
paling rentan, miskin dan menderita. Kepada merekalah kita berikan "cinta
penuh" bukan " cinta setengah”. (Petrus Pit Supardi)
Artikel
ini sudah dimuat di Kompasiana
atas
izin penulis, tulisan ini dimuat kembali
Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
ReplyDeleteKesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802
ReplyDeleteIzin ya admin..:)
Hadir dan Menangkan hadiah nya tempat bermain poker 8 game dengan hanya 1 userid saja sudah bisa menikmati permainan kami di arenadomino(com)
silahkan langsung daftarkan diri anda bersama kami dengan pelayanan 24jam dan proses cepat yang kami berikan untuk kenyamanan anda semua dalam bermain di tempat kami segera bergabung peluang menang menunggu anda...
WA +855 96 4967353